A.Asal-Usul Dan Perkembangan Kerajaan Gowa
1.Masa Sebelum Tumanurung
Sebelum zaman Tumanurung, ada empat raja yang pernah mengendalikan
Pemerintahan Gowa yakni : Batara Guru, saudara Batara Guru yang dibunuh
oleh Tatali (tak diketahui nama aslinya), Ratu Sapu atau Marancai dan
Karaeng Katangka (Nama aslinya tak diketahui).
Keempat raja tersebut tak diketahui asal-usulnya serta masa
pemerintahannya. Tapi mungkin pada masa itu, Gowa purba terdiri dari 9
kasuwiang ( kasuwiyang salapang) mungkin pula lebih yang dikepalai
seorang penguasa sebagai raja kecil. Setelah pemerintahan Karaeng
katangka, maka sembilan kerajaan kecil bergabung dalam bentuk
pemerintahan federasi yang diketuai oleh Paccalaya.
2.Masa Tumanurung
Berdasarkan hasil penelitian sejarah, baik melalui lontarak maupun
cerita yang berkembang di masyarakat, dapat diketahui bahwa munculnya
nama Gowa dimulai pada tahun 1320, yakni pada masa pemerintahan Raja
Gowa pertama bernama Tumanurunga.
Konon, sebelum Tumanurunga hadir di Butta Gowa, ada sembilan negeri
kecil yang kini lebih dikenal dengan istilah Kasuwiang Salapanga yakni :
Kasuwiang Tombolo, Lakiung, Samata, Parang-parang, Data, Agang Je’ne,
Bisei, Kalling dan Sero. Kesembilan negeri tersebut mengikatkan diri
dalam bentuk persekutuan atau pemerintahan federasi dibawa pengawasan
Paccallaya (Ketua Dewan Pemisah).
Walaupun mereka bersatu, tetapi ke sembilan negeri tersebut sering
dilanda perang saudara antara Gowa di bagian utara dan Gowa di bagian
selatan. Paccallaya sebagai ketua federasi tak sanggup mengatasi
peperangan tersebut. Hal tersebut karena Paccallaya hanya berfungsi
sebagai lambang yang tidak memiliki pengaruh kuat terhadap anggota
persekutuan yang masing-masing punya hak otonom.
Untuk mengatasi perang saudara tersebut, diperlukan seorang pemimpin
yang kharismatik dan dapat diterima oleh kesembilan kelompok tersebut.
Terdengarlah berita orang Paccallaya, bahwa ada seorang putri yang turun
di atas bukit Tamalate tepatnya di Taka’bassia. Saat penantian,
orang-orang yang berada di Bonto Biraeng melihat seberkas cahaya dari
utara bergerak perlahan-lahan turun menuju Taka’bassia.
Kejadian itu cepat diketahui oleh Gallarang Mangasa dan bolo yang memang
diserahi tugas mencari tokoh yang bisa menjadi pemersatu kaum yang
berseteru itu. Paccalaya bersama ke sembilan kasuwiang bergegas ke
Taka’bassia. Di sana mereka duduk mengelilingi cahaya sambil bertafakur.
Cahaya itu kemudian menjelma menjadi seorang putri yang cantik jelita
disertai pakaian kebesarannya antara lain berupa mahkota.
Baik Paccalaya maupun Kasuwiang tak mengetahui nama putri tersebut,
sehingga mereka sepakat memberi nama Tumanurung Bainea atau Tumanurung,
artinya orang (wanita) yang tidak diketahui asal usulnya.
Karena putri ratu tersebut memiliki keajaiban, Paccalaya dan Kasuwiang
Salapang sepakat untuk mengangkat Tumanurung sebagai rajanya. Paccalaya
kemudian mendekati Tumanurunga seraya bersembah “Sombangku!” (Tuanku),
kami datang semua ke hadapan sombangku, kiranya sombangku sudi menetap
di negeri kami dan menjadi raja di negeri kami.
Permohonan Paccalaya tersebut dikabulkan, dan berseru “Sombai Karaengnu
tu Gowa (Sombalah rajamu hai orang Gowa). Baik Kasuwiang maupun warga
yang ada di sekitar itu berseru “Sombangku”. Setelah Tumanurunga resmi
menjadi Raja Gowa pertama pada tahun 1320 negeri Gowa kembali menjadi
aman.
Masa pemerintahan Tumanurunga berlangsung sejak tahun 1320-1345.
Diriwayatkan, Tumanurunga kemudian kawin dengan Karaeng Bayo, yaitu
seorang pendatang yang tidak diketahui asal usulnya. Hanya dikatakan
berasal dari arah selatan bersama temannya Lakipadada. Dari hasil
perkawinan tersebut lahirlah Tumassalangga Baraya yang nantinya
menggantikan ibunya menjadi raja Gowa kedua (1345-1370).
Menjelang abad XVI, pada masa pemerintahan Raja Gowa VI, Tunatangka
Lopi, membagi wilayahnya menjadi dua bagian terhadap dua orang
putranya, yaitu Batara Gowa dan Karaeng Loe Ri Sero. Batara Gowa
melanjutkan kekuasaan ayahnya yang meninggal dunia. Wilayahnya meliputi
(1) Paccelekang, (2) Patalassang, (3) Bontomanai Ilau, (4) Bontomanai
Iraya, (5) Tombolo, dan (6) Mangasa.
Adiknya, Karaeng Loe ri Sero, mendirikan kerajaan baru yang bernama
kerajaan Tallo dengan wilayah sebagai berikut: (1) Saumata,(2) Pannampu,
(3) Moncong Loe, dan (4) Parang Loe.
Beberapa kurun waktu, kedua kerajaan itu terlibat pertikaian dan baru
berakhir pada masa pemerintahan Raja Gowa IX Karaeng Tumapakrisik
Kallonna. Setelah melalui perang, beliau berhasil menaklukkan
pemerintahan raja Tallo III I Mangayaoang Berang Karaeng Tunipasuru.
Sejak itu, terbentuklah koalisi antara Kerajaan Gowa dan Tallo, dengan
ditetapkannya bahwa Raja Tallo menjadi Karaeng Tumabbicara butta atau
Mangkubumi (Perdana menteri) Kerajaan Gowa. Begitu eratnya hubungan
kedua kerajaan ini sebagai kerajaan kembar, sehingga lahir pameo di
kalangan rakyat Gowa dan Tallo dalam peribahasa “Dua Raja tapi hanya
satu rakyat (Ruwa Karaeng Se’re Ata). Kesepakatan ini diperkuat oleh
sebuah perjanjian yang dibuat dua kerajaan ini ,”iami anjo nasitalli’mo
karaenga ri Gowa siagang karaenga ri Tallo, gallaranga iangaseng
ribaruga nikelua. Ia iannamo tau ampasiewai Goa-Tallo, iamo macalla
rewata”.
3.Masa Perkembangan Kerajaan Gowa
Pada permulaan abad ke-XVI kerajaan Gowa mengalami kemajuan di bidang
Ekonomi dan politik pada masa pemerintahan Raja Gowa IX Daeng Matanre
Karaeng Manguntungi bergelar “Tumapakrisik Kallonna”, dan dipindahkanlah
Ibukota dari istana kerajaan dari Tamalate ke Somba Opu.
Disana beliau membangun sebuah dermaga yang menjadikan Gowa sebagai
Kerajaan Maritim yang terkenal di wilayah nusantara bahkan sampai ke
luar negeri. Bandar niaga Somba Opu dijadikan bandar transito sehingga
ramai dikunjungi pedagang dari luar negeri.
Pada masa Karaeng Tumapakrisik Kallonna itu pula, Gowa telah berhasil
memperluas daerah kekuasaannya dengan menaklukkan berapa daerah di
sekitarnya, seperti Garassi, Katingan, Mandalle, Parigi, Siang
(Pangkajene), Sidenreng, Lempangan, Bulukumba, Selayar, Panaikang,
Campaga, Marusu, Polongbangkeng (Takalar), dan lain-lain. selanjutnya
Sanrobone, Jipang, Galesong, Agang Nionjok, Tanete (Barru), Kahu, dan
Pakombong dijadikannya sebagai Palilik atau kerajaan taklukan Gowa
tetapi masih diberi kesempatan memerintah. Mereka diwajibkan membayar
sabbukati (bea perang) dan mengakui supremasi Kerajaan Gowa.
Pada masa Karaeng Tumapakrisik Kallonna ini pula, Gowa mulai dikenal
sebagai bandar niaga yang ramai dikunjungi dan disinggahi oleh
kapal-kapal untuk melakukan bongkar muat rempah-rempah. Setelah jatuhnya
Malaka ke tangan Portugis tahun 1511, banyak pedagang dari negara
asing yang berdatangan ke Makassar, termasuk orang Melayu pada tahun
1512, juga orang Portugis yang pertama datang ke Makassar (Gowa –Tallo)
menjalin hubungan persahabatan dan perdagangan pada tahun 1538. Orang
Portugis inilah yang banyak mendapati kapal-kapal Makassar berkeliaran
di sekeliling perairan Nusantara, bahkan sampai ke India, Siam
(Muangthai) dan Filipina Selatan.
Untuk memperkuat pertahanan dan kedudukan istana di Somba Opu, Karaeng
Tumapakrisik Kallonna memerintahkan untuk membangun sebuah benteng
dari gundukan tanah yang mengelilingi istana pada tahun 1525. Benteng
tersebut sekarang lebih dikenal dengan nama Benteng Somba Opu. Putra
Karaeng Tumapakrisik Kallonna sebagai Raja Gowa X Karaeng Tunipallangga
Ulaweng selanjutnya merenovasi benteng tersebut dengan tembok bata
serta membangun benteng pertahanan lainnya, antara lain benteng Tallo,
Ujung Tanah, Ujung Pandang, Mariso, Panakukang, Garassi, Galesong,
Barombong, Anak Gowa dan Kalegowa.
Setelah karaeng Tumapakrisik Kallonna wafat, beliau digantikan oleh
puteranya I Manriogau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tunipallangga Ulaweng
(1546-1565) sebagai Raja Gowa X beserta mengkubuminya Nappakata`tana
Daeng Padulung (Raja Tallo), melanjutkan cita-cita ayahandanya. Beliau
memperkuat benteng-benteng pertahanan kerajaan dengan menjadikan
Benteng somba Opu sebagai benmteng utama. Politik ekspansinya berjalan
dengan baik. Kerajaan yang tidak mau tunduk pada pengaruh Gowa dianggap
sebagai saingan yang harus ditaklukkan. Oleh karena itu Ia menyerang
Bone yang waktu itu di bawah kekuasaan Raja bone VII, La Tenrirawe
Bongkange Matinro Ri Gucina.
Setelah Tonipallangga meninggal dunia, Ia digantikan oleh Tonibatta
(1565) sebagai Raja Gowa XI. Nama lengkapnya adalah I Tajibarani Daeng
Marompa, Karaeng Data, Tonibatta. Baginda adalah yang paling pendek masa
jabatannya, yakni hanya 40 hari. Baru saja menduduki tampuk kekuasaan,
ia langsung mengadakan ekspansi ke kerajaan Bone. Tonibatta tewas
dalam keadaan tertetak sehingga digelar Tonibatta.
Jenazah Baginda dikembalikan ke Gowa diiringi pembesar-pembesar
terkemuka kerajaan Bone. Beberapa saat setelah upacara berkabung
selesai, dilakukanlah perundingan perdamaian antara kedua kerajaan.
Perjanjian itu biasa disebut Ulukanaya ri Caleppa ( kesepakatan di
caleppa). Setelah perundingan selesai, Raja Bone beserta penasehatnya
Kajaolalido langsung ke Gowa mengikuti pelantikan Raja Gowa XII,
Manggorai Daeng Mammeta Karaeng Bontolangkasa Tonijallo (1565-1590).
Keadaan damai dimanfaatkan oleh kerajaan bone untuk menyusun aliansi
Tellunpoccoe atau “tiga puncak kerajaan Bugis” untuk menghadapi agresi
Gowa. Tonijallo memandang aliansi ini sebagai ancaman langsung terhadap
supremasi Gowa. Oleh karena itu, pada tahun 1583 ia melancarkan
serangan terhadap Wajo. Tujuh tahun kemudian 1590, serangan
dilanjutkan kembali tetapi Gowa tetap tidak mampu mengalahkan
Tellumpoccoe. Tonijallo sendiri tewas diamuk oleh pengikutnya.
Sepeninggal Tonijallo, Ia digantikan oleh I Tepu Karaeng Daeng Parambung
Karaeng ri Bontolangkasa Tonipasulu sebagai Raja Gowa XIII
(1590-1593). Tidak banyak aktifitas yang dilakukannya sebab ia hanya
memerintah selama tiga tahun, kemudian dipecat dari jabatannya.
Pemecatan dilakukan karena banyak perbuatannya yang buruk, seperti
pembunuhan dan pemecatan pejabat kerajaan secara semena-mena.
Pengganti tonipasulu adalah saudaranya I Manggerangi Daeng Manrabia
Sultan Alauddin Tu Menanga ri Gaukanna, Raja Gowa ke-14, putra
Tunijallo. Beliau dinobatkan ketika berumur 7 tahun . Oleh karena itu,
pemerintahan kerajaan dijalankan oleh Mangkubumi/Raja Tallo-I yang
bernama I Mallingkaang Daeng Manyonri` Karaeng Katangka, Karaeng
Matoaya, Tumenanga Ri Agamana, Sultan Awwalul Islam.
4.Islamisasi Kerajaan Gowa
Penerimaan Islam pada beberapa tempat di Nusantara memperlihatkan dua
pola yang berbeda. Pertama, Islam diterima oleh masyarakat bawah,
kemudiaan berkembang dan diterima oleh masyarakat lapisan atas disebut
bottom up. Kedua, Islam diterima langsung oleh elite penguasa kerajaan
kemudian disosialisasikan dan berkembang pada lapisan masyarakat bawah
disebut top down. Penerimaan Islam di Gowa menurut penulis sejarah
Islam, memperlihatkan pola yang kedua.
Kerajaan yang mula-mula memeluk Islam dengan resmi di Sulawesi Selatan
adalah kerajaan kembar Gowa-Tallo. Tanggal peresmian Islam itu menurut
lontara Gowa dan Tallo adalah malam Jum’at, 22 September 1605, atau 9
Jumadil Awal 1014 H. Dinyatakan bahwa Mangkubumi kerajaan Gowa / Raja
Tallo I Mallingkaeng Daeng Manyonri mula-mula menerima dan mengucapkan
kalimat Syahadat (Ia di beri gelar Sultan Abdullah Awwalul Islam) dan
sesudah itu barulah raja Gowa ke-14 Mangenrangi Daeng Manrabia (Sultan
Alauddin). Dua tahun kemudian seluruh rakyat Gowa-Tallo memeluk agama
Islam berdasar atas prinsip cocius region eius religio, dengan
diadakannya shalat Jumat pertama di masjid Tallo tanggal 9 November
1607 / 19 Rajab 1016 H.
Adapun yang mengislamkan kedua raja tersebut ialah Datu ri Bandang
(Abdul Makmur Chatib Tunggal) seorang ulama datang dari Minangkabau
(Sumatera) ke Sulawesi Selatan bersama dua orang temannya yakni Datu
Patimang (Chatib Sulaeman) yang mengislamkan pula Raja Luwu La Pataware
Daeng Parabung dan Datu ri Tiro (Chatib Bungsu) yang menyebar Agama
Islam di Tiro dan sekitarnya.
Sekitar enam tahun kemudian, kerajaan lainnya di Sulawesi Selatan pun
menerima Islam. Penyebarannya di dukung oleh Kerajaan Gowa sebagai pusat
kekuatan pengislaman. Kerajaan bugis seperti Bone, Soppeng, Wajo dan
Sidenreng, berhubung karena menolak, akhirnya Raja Gowa melakukan
perang, karena juga dianggap menentang kekuasaan Raja Gowa. Setelah
takluk, penyebaran Islam dapat dilakukan dengan mudah di Kerajaan Bugis.
B. Zaman Keemasan
Setelah Kerajaan Gowa menerima Islam, semakin menapak puncak
kejayaannya. Pada masa pemerintahan Raja Gowa XV I Manuntungi Daeng
Mattola Karaeng Ujung Karaeng Lakiung Sultan Malikulsaid (1639-1653),
kekuasaan dan pengaruhnya kian meluas dan diakui sebagai pemegang
hegemoni dan supremasi di Sulawesi Selatan, bahkan kawasan Timur
Indonesia.
Kemashuran Sultan Malikulsaid sampai ke Eropa dan Asia, terutama karena
pada masa pemerintahannya, dia ditunjang oleh jasa-jasa Karaeng
Pattingalloang sebagai Mangkubuminya yang terkenal itu, baik dari segi
sosok kecendiakawanannya maupun keahliannya dalam berdiplomasi. Tidak
heran, Gowa ketika itu telah mampu menjalin hubungan internasional yang
akrab dengan raja-raja dan pembesar dari negara luar, seperti Raja
Inggris, Raja Kastilia di Spanyol, Raja Portugis, Raja Muda Portugis di
Gowa (India), Gubernur Spayol dan Marchente di Mesoliputan (India),
Mufti Besar Arabia dan terlebih lagi dengan kerajaan-kerajaan di sekitar
Nusantara.
Kerjasama dengan bangsa-bangsa asing, terutama Eropa sejak Somba Opu
menjadi Bandar Niaga Internasional. Bangsa Eropa gemar dengan
rempah-rempah telah menjalin hubungan dagang dengan Gowa, seperti
Inggris, Denmark, Portugis, Spanyol, Arab, dan Melayu. Mereka telah
mendirikan kantor perwakilan dagang di Somba Opu. Dari tahun ke tahun
hubungan Kerajaan Gowa dengan bangsa Eropa tidak mengalami ronrongan.
Barulah terganggu setelah kehadiran orang-orang Belanda yang ingin
memonopoli perdagangan dan menjajah.
Tanggal 5 November 1653 Sultan Malikulsaid wafat setelah mengendalikan
pemerintahan Gowa selama 16 tahun. Beliau digantikan oleh puteranya I
Mallombasi Daeng Mattawang Sultan Hasanuddin yang menjadi raja Gowa XVI
(1653-1669). Dimasa Hasanuddin inilah ketegangan Gowa dengan Belanda
kian meruncing. Hal tersebut karena sikap beliau sangat tegas dan tak
mau tunduk pada Belanda. Tahun 1654-1655 terjadi pertempuran hebat
antara Gowa dan Belanda di kepulauan Maluku. April 1655 armada Gowa yang
langsung dipimpin Hasanuddin menyerang Buton, dan berhasil
mendudukinya serta menewaskan semua tentara Belanda di negeri itu.
Setelah Belanda melihat kenyataan peperangan di Kawasan Timur Nusantara
banyak menimbulkan kerugian menghadapi Gowa. Belanda dengan berbagai
siasat menawarkan perdamaian. Tahun 1655 Belanda mengutus Willem
Vanderbeck bersama Choja Sulaeman menghadap Sultan membawa pesan damai
dari Gubernur jenderal Joan Maectsuyker tetapi tidak berhasil. Tanggal
17 Agustus 1655 tercapai perjanjian perdamaian 26 pasal sebagai hasil
perundingan antara utusan Gowa yang diwakili Karaeng Popo dengan
Gubernur Jenderal Belanda yang diwakili Dewan Hindia, Van Oudshoon.
Pertemuan tersebut dipimpin oleh Panglima perang Belanda Mayor Van Dam
di Batavia.
Perjanjian itu kemudian oleh Sultan dianggap sangat merugikan Gowa,
terutama atas pasal larangan orang-orang Makassar berdagang di Banda dan
Ambon, maka Gowa akhirnya menolak perjanjian itu. Tanggal 20 November
1655 utusan Gubernur Jenderal Joan Maetsyuiker untuk sekian kalinya
mencoba lagi menawarkan perdamaian dengan mengutus van Wesenhager,
tetapi Gowa menolaknya karena tuntutannya merugikan Gowa. Demikian
berbagai siasat perdamaian yang diajukan Belanda selalu gagal sehingga
permusuhan tidak terelakkan, sehingga terjadi pertempuran poun terus
bergolak antara Gowa dengan Belanda, mulai dari perairan Maluku, Banda
sampai Makassar.
Karena Belanda putus asa menghadapi kegigihan rakyat Gowa dibawa
pimpinan Sultan Hasanuddin, maka pada bulan Oktober 1666 Belanda
menggerakkan armada persenjataannya yang paling kuat dibawa pimpinan
Cornelis Speelman ke perairan Indonesia bagian timur, guna meruntuhkan
kerajaan Gowa dan pengaruh hegemoninya. Dengan dibantu pasukan Bone dan
pengikut Aruppalakka, dan pasukan Ambon dibawa pimpinan Kapten Yonker
dalam perang melawan Gowa. Posisi Gowa saat itu, tidak hanya berperang
melawan bangsa asing tetapi juga bangsanya sendiri.
Tahun 1667 perang besarpun bergolak antara Pasukan Gowa dengan Belanda.
Karena kekuatan tidak seimbang, menyebabkan benteng milik Gowa satu
persatu direbut Belanda dan sekutunya, seperti benteng galesong,
Barombong melalui pertempuran sengit yang banyak menelan korban kedua
belah pihak.
Melihat Gowa dalam posisi yang kurang menguntungkan, Speelman mengajukan
tawaran perundingan. Tawaran tersebut diterima Sultan dengan
pertimbangan, bukan karena takut berperang tetapi demi menghindari
bertambahnya pertumpahan darah yang lebih banyak di kalangan orang-orang
Makassar maupun sesama bangsa sendiri. Atas pertimbangan itu, Sultan
Hasanuddin terpaksa menerima perdamaian dengan Belanda dengan
ditandatanganinya Perjanjian Bongaya pada tanggal 18 November 1667.
Dengan perjanjian Bongaya, Rakyat Gowa sangat dirugikan maka perangpun
kembali berkecamuk. Pertempuran hebat itu membuat Belanda cemar,
sehingga menambah bala bantuan dari batavia. Dalam pertempuran dahsyat
Juni 1669 yang cukup banyak menelan korban di kedua belah pihak,
akhirnya Belanda berhasil merebut benteng pertahanan yang paling kuat di
Somba Opu. Benteng Somba Opu diduduki Belanda sejak 12 Juni 1669 dan
kemudian dihancurkan, setelah pasukan Gowa mempertahankannya dengan
gagah berani.
Perkembangan selanjutnya setelah Sultan Hasanuddin, Raja-raja Gowa masih
terus melakukan perlawanan dengan Belanda. Hal itu dibuktikan dengan
gigihnya perlawanan Raja Gowa XVIII Sultan Muhammad Ali (Putra Sultan
Hasanuddin) yang gugur dalam tahanan Belanda di Batavia (Jakarta) pada
tahun 1680. Raja Gowa XXVI Batara Gowa II setelah tertangkap dan
diasingkan ke Sailon. Tidak terhitung putra-putri terbaik Gowa lainnya
telah berjuan dan gugur di medan perang membela tanah airnya.
C. Masa Kemunduran dan Keruntuhan
Peperangan demi peperangan melawan Belanda dan bangsanya sendiri (Bone)
yang dialami Gowa, membuat banyak kerugian. Kerugian itu sedikit
banyaknya membawa pengaruh terhadap perekonomian Gowa. Sejak kekalahan
Gowa dengan Belanda terutama setelah hancurnya benteng Somba Opu, maka
sejak itu pula keagungan Gowa yang sudah berlangsung berabad-abad
lamanya akhirnya mengalami kemunduran. Akibat perjanjian Bongaya, pada
tahun 1667 sultan Hasanuddin Tunduk. Dalam perjanjian itu, nyatalah
kekalahan Makassar. Pardagangannya telah habis dan negeri-negeri yang
ditaklukkannya harus dilepaskan. Apalagi sejak Aru Palakka menaklukkan
hampir seluruh daratan Sulawesi Selatan dan berkedudukan di Makassar,
maka banyak orang Bugis yang pindah di Makassar. Sejak itu pula
penjajahan Belanda mulai tertanam secara penuh di Indonesia.
Makassar, sebagai ibukota kerajaan Gowa mengalami pengalihan-pengalihan
baik dari segi penguasaan maupun perkembangan-perkembangannya. Pengaruh
kekuasaan gowa makin lama makin tidak terasa di kalangan penduduk
Makassar yang kebanyakan pengikut Aru Palaka dan Belanda . benteng
Somba Opu yang selama ini menjadi pusat politik menjadi kosong dan sepi.
Pemerintahan kerajaan Gowa yang telah mengundurkan diri dari Makassar (
Yang berada dalam masa peralihan) ke Kale Gowa dan Maccini Sombala
tidak dapat dalam waktu yang cepat memulihkan diri untuk menciptakan
stabilitas dalam negeri. Namun demikian Sultan Hasanuddin telah
menunjukkan perjuangannya yang begitu gigih untuk membela tanah air dari
cengkraman penjajah. Sebagai tanda jasa atas perjuangan Sultan
Hasanuddin, Pemerintah Republik Indonesia atas SK Presiden No.
087/TK/1973 tanggal 10 November 1973 menganugerahi beliau sebagai
Pahlawan Nasional.
Demikian Gowa telah mengalami pasang surut dalam perkembangan sejak Raja
Gowa pertama, Tumanurung (abad 13) hingga mencapai puncak keemasannya
pada abad XVIII kemudian sampai mengalami transisi setelah
bertahun-tahun berjuang menghadapi penjajahan. Dalam pada itu, sistem
pemerintahanpun mengalami transisi di masa Raja Gowa XXXVI Andi Idjo
Karaeng Lalolang, setelah menjadi bagian Republik Indonesia yang merdeka
dan bersatu, berubah bentuk dari kerajaan menjadi daerah tingkat II
Otonom. Sehingga dengan perubahan tersebut, Andi Idjo pun tercatat dalam
sejarah sebagai Raja Gowa terakhir dan sekaligus Bupati Gowa pertama.
No comments:
Post a Comment